Scroll untuk baca artikel
Berita

MENAKAR ULANG KEWIBAWAAN HUKUM MELALUI KASUS FERDI SAMBO: DARI UPAYA MALAFIDE HINGGA TAMENG PASAL 100 KUHP

117
×

MENAKAR ULANG KEWIBAWAAN HUKUM MELALUI KASUS FERDI SAMBO: DARI UPAYA MALAFIDE HINGGA TAMENG PASAL 100 KUHP

Sebarkan artikel ini

SUARAMASSA.CO.ID – Konon katanya dalam adagium purba termaktub istilah Lex semper dabit remedium, bahwa hukum selalu menjadi obat. Adagium tersebut merupakan penghormatan tertinggi terhadap hukum bahwa melalui kewibawaannya hukum selalu memberikan obat bagi para pencari keadilan di dunia ini. Equum et bonum est lex legum – apa yang adil dan baik adalah hukumnya hukum.

Kendati demikian, hidup ini harus realistis. Kewibawaan hukum saat ini mesti dipertanyakan ulang, karena tidak sedikit hukum di oper di bawah kolong meja, transaksional atasnya dalam upaya membentengi diri agar kebal terhadap hukum menjadi fenomena yang tidak lagi bisa di sembunyikan. Sebagai contoh kasus pembunuhan berencana oleh Ferdi Sambo (Kadiv Propam Irjen Pol) terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J yang beberapa waktu ini mencuat di kalangan publik hingga pada putusan pidana mati oleh hakim terhadap Ferdi Sambo.

Advertisement
Scroll ke bawah untuk lihat konten

Semenajak mencuatnya kasus Ferdi Sambo di kalangan publik, kelihaian Malifade Ferdi Sambo sangat terlihat jelas dalam perkembangan kasus-nya. Mulai dari terungkapnya kasus kematian Brigadir J pada 11 Juli 2022 dengan dalil bahwa Brigadir J mati akibat saling tembak dengan Barada E yang terjadi di rumah salahsatu pejabat Polri di perumahan Dinas Duren Tiga Jakarta Selatan pada Jumat pada tanggal 8 Juli 2022 sekitar pukul 17:00 WIB hingga pada penetapan FS sebagai tersangka pada 9 Agustus 2022 dan berakhir pada putusan pidana mati FS pada 13 Februari 2023.

Sebagai seseorang yang memiliki kekuatan di aspek finansial dan juga kedudukan yang tinggi, skenario demi skenario terus di mainkan oleh FS, mulai dari tuduhan terhadap Brigadir J maupun Barada E hingga upaya untuk menyogok Kamaruddin Simanjuntak sebagai pengacara Brigadir J agar kasus tersebut di selesaikan secara kekeluargaan.
Berbagai drama terus di lemparkan di khalayak publik sehingga menimbulkan kegaduhan. Asumsi pertama bahwa kekuatan FS dalam mengendalikan hukum hadir karena dirinya adalah seorang yang memiliki kekuasaan.

Tidak bisa di pungkiri bahwa dengan kekuasaannya, FS tentunya memiliki privillage sehingga “Masalah hubungan hukum dan kekuasaan secara ekstrim harus dipersoalkan.” Pertanyaan yang muncul adalah apakah hukum itu tunduk kepada kekuasaan ataukah kekuasaan tunduk pada hukum ? (Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta; 2009 : 40-43 dalam HUKUM DAN KEKUASAAN Enju Juanda: 2017). Kembali kita akan mempertanyakan ulang bagaimana kewibawaan hukum saat ini.

Beberapa teori mencoba untuk menjelaskan pertanyaan di atas. Terdapat dua penjelasan yang akan mencoba untuk mendudukkan persoalan tersebut. Pertama penjelasan berbasis konotasi positif, dan kedua dalam konotasi negatif.

Dalam konotasi positif, hukum dan kekuasaan sama-sama memiliki peran penting dalam menjaga kestabilan antaranya. Satu negara membutuhkan peraturan atau hukum untuk mengatur atau mengelola masyarakatnya, dan untuk menjalankan peraturan tersebut juga dibutuhkan suatu lembaga yang bisa menjalankan dan mengelola peraturan itu. Oleh karena nya, peran penguasa sangat dibutuhkan dalam hal ini. Hukum baru dapat dijalankan apabila ada penguasa yang mengaturnya.

Sementara dalam konotasi negatif, hukum adalah produk kekuasaan sehingga hukum harus tunduk di bawah kekuasaan maupun penguasa.
Dalam konotasi negatif inilah muncul asumsi dasar bahwa dibawah pengaruh kekuasaan, hukum menjadi suatu komoditas yang bisa di perjualbelikan layaknya barang. Tidak jarang muncul pernyataan bahwa saat ini hukum telah mati. Makna “matinya hukum” adalah sebuah makna yang sangat filosofis. Matinya hukum bukan berarti bahwa tidak ada hukum, matinya hukum adalah hukum dipaksakan untuk berlaku dan keberlakuannya hanya untuk perlindungan penguasa. Dalam hal ini, kesimpulan sementara bahwa pengaruh kekuasaan telah menggerogoti kewibawaan hukum.

*Mengukur Kekuatan Putusan Hakim dan Kekuatan Pasal 100 KUHP Terhadap Kasus Ferdi Sambo*

Berdasarkan _ratio decidendi_ hakim, putusan pidana mati terhadap Ferdi Sambo mengacu pada beberapa alasan, yakni: 1) perbuatan FS dilakukan pada ajudan sendiri yang telah mengabdi selama 3 tahun, 2). Perbuatan tersebut telah mengakibatkan duka mendalam bagi keluarga korban, 3). Perbuatan FS menyebabkan kegaduhan di Masyarakat luas, 4). Sebagai APH dalam hal ini Kadiv Propam Polri tidak sepantasnya FS melakukan perbuatan ini, 5). Perbuatan FS telah mencoreng nama institusi Polri di Indonesia maupun International, 6). FS menyeret banyak anggota Polri untuk terlibat dalam tindak pidana, 7). FS berbelit-belit dan tidak mau mengakui perbuatannya di persidangan. Melalui pertimbangan tersebut, hakim tidak menemukan alasan yang akan meringankan FS dalam menjatuhkan putusannya sehingga FS di putuskan terpidana mati. Berdasarkan ini, FS dinilai telah melanggar pasal 340 KUHP jo pasal 55 ayat ke-1 KUHP dan pasal 49 jo pasal 33 UU ITE jo pasal 55 ayat 1 point 1 KUHP.

Pertanyaan yang muncul ialah bagaimana ratio kekuatan hukum putusan pidana mati oleh pengadilan? apakah akan di eksekusi sesuai putusan hakim atau justru bisa saja berubah dengan mengikuti ketentuan baru dalam UU No/1/2023 Tentang KUHP mengingat ketentuan baru dalam pasal 100 KUHP mengupayakan ada masa percobaan penahanan selama 10 tahun? Pertanyaan tersebut dapat di jawab melalui dua pendekatan, yakni pendekatan doktrinal dan pendekatan kepastian hukum.

Secara doktrinal, Setiap putusan haruslah dapat dieksekusi, karena tidak akan ada artinya jika putusan tidak dapat dieksekusi, seperti diketahui bahwa putusan hakim itu sewaktu-waktu akan menjadi putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Oleh karenanya, putusan pidana mati terhadap FS harus segera di laksanakan karena pada prinsipnya putusan hakim seharusnya bisa mengikat secara hukum.

Namun jika di tinjau secara kepastian hukum di Indonesia, putusan pidana mati masih menjadi polemik dan tidak mencerminkan nilai kepastian hukum, Faktor penyebab terjadinya ketidakpastian pelaksanaan eksekusi hukuman mati dalam sistem peradilan pidana adalah karena pengaruh opini publik tentang perlunya hukuman mati dihapus dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, selain itu putusan pidana mati oleh pengadilan bisa saja dibatalkan melalui permohonan grasi terhadap presiden.

Tercatat hingga akhir tahun 2012, terdapat 133 terpidana mati yang belum dieksekusi di mana tindak pidana narkoba menempati urutan tertinggii, yaitu 71 orang atau 53,38 %. Sedangkan tindak pidana pembunuhan menempati urutan kedua yaitu sebanyak 60 orang atau 45,12 %, dan pada urutan ketiga ialah tindak pidana teorisme sebanyak 2 orang atau 1,50 %. Sebanyak 113 Orang terpidana mati tersebut, (Zaini, I: 2013).

Jika di lihat berdasarkan analisis di atas, kekuatan hukum putusan pidana mati oleh hakim masih menjadi polemik yang belum terelesaikan karena kuatnya opini publik yang menyuarakan agar hukuman mati di hapuskan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan putusan pengadilan tidak memiliki kekuatan.

Sejalan dengan itu, ketentuan KUHP baru yang telah di undangkan dalam UU No 1/2023 tentang KUHP dalam pasal 100 ayat (1) menyatakan bahwa “hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun dengan memperhatikan: rasa penyesalan terdakwa, pidana mati harus di cantumkan dalam putus pengadilan, 10 tahun dimulai setelah 1 hari putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pasal 100 ayat (4) menyatakan bahwa jika selama masa percobaan, terpidana menunjukkan sifat terpuji maka pidana mati akan dapat di ubah menjadi pidana penjara selama seumur hidup.

Berdasarkan keberlakuan KUHP baru yang akan berlaku pada tahun 2026 jika di tinjau dalam ketentuan pasal 100 ayat (3) yang menyatakan bahwa “masa percobaan 10 tahun dimulai 1 hari setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.” Implikasinya tentu akan memungkinkan bahwa putusan pidana mati terhadap FS mengikuti ketentuan yang baru karena telah berkekuatan hukum tetap sehingga akan merujuk berdasarkan ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) KUHP baru, “dalam hal terdapat perubahan peraturan perundang-undangan sesudah perubahan terjadi, di berlakukan peraturan perundang-undangan yang baru kecuali ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama menguntungkan bagi pelaku dan pembantu tindak pidana.”

Melalui ini, kekuatan hukum putusan hakim atas pidana mati FS dikalahkan dengan alasan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang memungkinkan untuk diberikan pilihan apakah akan mengikuti peraturan yang baru atau yang lama. Namun karena di nilai peraturan yang lama tidak menguntungkan bagi terpidana, yakni FS maka secara logis akan mengikuti ketentuan pasal 3 ayat (1) KUHP, sehingga kesimpulannya akan di temukan bahwa putusan pidana mati terhadap FS oleh hakim hanya akan bisa berlaku manakala dalam masa percobaan penahanan FS selama 10 tahun tidak ada rasa penyesalan akan perbuatannya, maka dirinya akan dipidana mati.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *