Sudah sepekan aku merasa dicutikan Tuhan untuk tidak bisa berbuat apa-apa, karena sakit. Hikmahnya ada pemahaman dan pengertian bahwa Tuhan semakin jauh, karena kesibukan duniawi yang mungkin lebih terasa mengasyikkan. Sehingga Tuhan sering dilupakan.
Mulai dari proses tak punya selera makan, sungguh sudah merupakan kesialan — kalau belum bisa disebut hukuman Tuhan — betapa soal selera pun sesungguhnya bukan kekuasaan manusia yang merasa memilikinya.
Kasus tak punya selera makan pun ternyata tidak bisa dimengerti secara ilmiahnya, kecuali hanya bisa dipahami dengan kesadaran spiritual seperti yang sudah dan sedang dibangun oleh sahabat dan kerabat GMRI (Gerakan Rekonsiliasi Indonesia) yang terus bergulir tanpa cuti dengan sangat efektif sejak tiga tahun silam.
Sebab untuk menjawab masalah bangsa dan masalah negara bagi GMRI intinya harus berpangkal tolak dari etika, moral dan akhlak mulia manusia seperti yang sudah tersurat dari langit sebagai Khilafah Allah di muka bumi. Artinya, kemuliaan manusia itu karena mendapat kepercayaan sebagai wakil Tuhan di bumi. Beretika, bermoral dan berakhlak.
Begitulah tuntunan para spiritualis dalam cara menikmati rasa sakit. Sebab Tuhan tetap menyisifkan banyak hikmah diantara rasa sakit yang sulit untuk disiskripsikan secara keilmuan dan medis.
Bayangkan saja, sepekan merasa tak punya selera makan, lalu kentut pun tidak, apalagi bisa membuang hajat, kok ya baru disadari bahwa semua itu bukan kekuasaan manusia sedikitpun. Pasahal semua itu ada pada diri yang bersangkutan
Agaknya, ini mungkin yang dimaksud Tuhan bahwa manusia hanya diberi sedikit pengetahuan, selebih adalah rahasia (milik) Allah SWT. Seperti kesadaran awal penulis saat berada di Warung Bakso Kawasan Condet, kok sekonyong-konyong Prof. Yudhie Haryono muncul, tanpa babibu langsung memijit-mijit pundak penulis. Padahal beliau duduk pun belum. Di dalam lubuk hati terjauh, pijitan Prof. Yudhie Haryono ini sungguh nikmat dan membuat hati bungah, apalagi setelah jeddah karena ada masalah parkir, beliau kembali mengulang pijitan dipundak penulis dengan penuh getaran rasa tulus dan cinta. Sungguh aku terharu dan sangat terkesan !
Jadi pijitan Prof. Yudhie Haryono itu sebenarnya dalam khazanah bahasa ucap spiritual adalah bahasa langit, seperti kata Prof. Ravik Karsidi yang menandai bahasa ucap khas Eko Sriyanto Galgendu yang sering disebut bahasa bumi. Pertanda dari Prof. Yudhie Haryono ini telah mengisyaratkan bahwa saya sudah sakit.
Begitulah diantara bonus saat sedang sakit yang bisa diambil hikmahnya kemudian sungguh sangat banyak, termasuk kesetiaan sahabat dan kerabat, juga teruji disaat kita sedang sakit. Dan kesetiaan itu dalam keluarga, perkawanan serta persaudaaraan (seperti yang sudah terbangun dalam GMRI) akan terus diuji oleh sang waktu.
Banyak juga kawan lain — termasuk yang jauh berada di luar kota, bahkan Sumatra, Kalimantan dan Salawesi — berkirim do’a penuh ikhlas. Apalagi seperti Mas Eko Sriyanto Galgendu, Setyo Wibowo dan Mas Wowok yang ngoyo datang ke rumahku di plosok Banten, sungguh luar biasa. Tentu mereka dapat menyaksikan kondisi ekonomi nyata seorang anak negeri ini yang tak pernah ingin bergantung pada pemerintah. Apalagi pada pemerintahan sekarang yang semakin nyata banyak menanggung beban.
Ekspresi pribadi ini penulis harap juga menjadi permakluman Jeng Samaria Masta (Ita Itok) yang telah mengupayakan acaea do’a bersama sejumlah tokoh untuk mengenang
40 hari wafatnya Kakanda Benny Akbar Fatah. Yang pertama saya kembali jadi bersedih, karena tak juga bisa hadir pada acara spesial yang dibuat Jeng Ita Itok. Dan sekali lagi memahami hasrat kehadiran saya tak jadi hadir akibat sakit yang mendera semakin menggawat.
Terakhir kepada Prof. Yudhie Haryono yang telah menginjeksikan beragam serum ide dan pemikiran serta sugesti kesembuhan bagiku. Terima kasih banyak Prof. Sungguh bangga dan haru hatiku ketika sosok Zaid bin Tsabit seorang penulis muda yang sangat mulia karena dipercaya Nabi Muhamad SAW dijadikan Sekretaris Pribadi beliau dan memperoleh tugas khusus untuk Negara Madinah. Saya kira sandingan yang bersifat pujian ini sangat berlebih bagi saya Prof. Sebab menjadi Sekpri Mas Eko saja sudah tiga tahun kepungkur ini juga belum ada SK-nya…. ha…haaa…
Salam sehat. Mungkin dengan cara menulis begini aku dapat lebih cepat sehat.
Penulis : Jacop Ereste